Setiap tahun, dunia perfilman geger sama satu hal: Oscar. Saat film diumumkan menang Best Picture, otomatis langsung dianggap “film terbaik sepanjang tahun.” Tapi di era sekarang, banyak orang mulai mikir: emang bener film pemenang Oscar selalu bagus? Atau cuma karena politik, tren, dan gengsi industri aja?
Pertanyaan ini makin relevan, apalagi pas beberapa film pemenang Oscar justru bikin penonton awam bengong, “Ini film bagusnya di mana?” Sementara film populer yang disukai banyak orang malah diabaikan total.
Jadi, yuk kita bahas apakah film pemenang Oscar beneran se-worth itu, atau cuma mitos glamor Hollywood yang terlalu diagung-agungkan.
1. Oscar Itu Apa, Sih, Sebenarnya?
Sebelum nge-judge, kita harus ngerti dulu apa itu Academy Awards alias Oscar.
Penghargaan ini digelar sama Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) — isinya ribuan profesional industri film: sutradara, produser, aktor, penulis, sampai teknisi efek visual.
Jadi yang milih film pemenang bukan sembarang orang, tapi mereka yang kerja di industri itu sendiri.
Masalahnya, justru di situ letak masalahnya: voting Oscar gak mewakili penonton umum.
Yang menang bukan selalu film paling disukai publik, tapi yang paling “disetujui” oleh sesama pembuat film.
Artinya, Oscar lebih soal pengakuan industri, bukan selera massa.
2. Kriteria “Film Bagus” Versi Oscar Gak Sama dengan Versi Penonton
Buat penonton awam, film bagus itu yang:
- Ceritanya gampang dipahami
- Emosional dan menghibur
- Punya karakter kuat
- Ending-nya satisfying
Tapi buat juri Oscar, film bagus itu yang:
- Eksperimental atau artistik
- Menyentuh isu sosial atau politik
- Punya sinematografi, editing, dan dialog yang “berkelas”
- Kadang justru anti-mainstream
Makanya, film kayak Everything Everywhere All At Once bisa menang Best Picture (2023), walaupun sebagian orang ngerasa ceritanya “aneh banget.” Tapi dari kacamata Oscar, film itu inovatif, punya konsep multiverse yang segar, dan nyentuh tema eksistensial.
Sedangkan film yang populer kayak Avatar atau Top Gun: Maverick — meski sukses secara global — sering dianggap terlalu komersial buat menang.
3. Banyak Pemenang Oscar yang Emang Layak Banget
Oke, meskipun Oscar sering dikritik, gak bisa dipungkiri banyak pemenangnya memang luar biasa.
Contohnya:
- The Godfather (1972) — masterpiece sejati dalam storytelling dan karakter.
- Schindler’s List (1993) — film sejarah paling kuat tentang kemanusiaan.
- Forrest Gump (1994) — gabungan sempurna antara humor, drama, dan filosofi hidup.
- The Silence of the Lambs (1991) — satu-satunya film horor yang menang Best Picture.
Film-film ini bukan cuma disukai kritikus, tapi juga dicintai penonton lintas generasi. Jadi kalau ada yang bilang “pemenang Oscar itu overrated semua,” ya gak sepenuhnya benar. Banyak yang emang pantes banget.
4. Tapi… Gak Semua Film Pemenang Oscar Pantes Menang
Nah, di sisi lain, ada juga film pemenang Oscar yang bikin banyak orang garuk kepala.
Beberapa contohnya bahkan masih jadi perdebatan sampai sekarang.
Kasus paling ikonik:
- Shakespeare in Love (1999) ngalahin Saving Private Ryan. Banyak yang bilang kemenangan itu “dibeli” lewat kampanye besar Miramax dan Harvey Weinstein.
- Crash (2006) menang lawan Brokeback Mountain, dan banyak kritikus bilang itu salah satu keputusan paling aneh dalam sejarah Oscar.
- Green Book (2019) dapet kritik karena dianggap “terlalu aman” dan nyentuh isu rasisme dari sudut pandang kulit putih.
Kasus-kasus kayak gini bikin banyak orang percaya kalau Oscar bukan cuma soal kualitas film, tapi juga politik dan citra.
5. Politik di Balik Layar: Kampanye, Lobi, dan “Pencitraan”
Yup, Oscar bukan cuma ajang penghargaan — tapi juga kompetisi marketing terbesar di industri film.
Studio-studio besar ngeluarin jutaan dolar buat kampanye agar film mereka “terlihat layak menang.”
Ada strategi khusus yang disebut For Your Consideration (FYC) — isinya promosi, private screening, wawancara, dan bahkan pendekatan personal ke anggota Academy.
Dan yang lebih menarik:
- Kadang film bisa menang karena isu sosial yang lagi trending.
- Kadang karena aktor atau sutradara udah “utang penghargaan.”
Misalnya, Leonardo DiCaprio menang lewat The Revenant (2016). Banyak yang bilang bukan karena itu film terbaiknya, tapi karena Academy udah malu dia kalah terus selama bertahun-tahun.
6. Bias Oscar: Kulit Putih, Film Barat, dan “Selera Klasik Hollywood”
Salah satu kritik terbesar ke Oscar adalah kurangnya keberagaman.
Selama puluhan tahun, mayoritas pemenang datang dari film Barat, berbahasa Inggris, dan sering kali didominasi kru kulit putih.
Baru belakangan, tren mulai berubah:
- Parasite (2019) jadi film non-Inggris pertama yang menang Best Picture.
- Everything Everywhere All At Once (2023) jadi simbol kemenangan film Asia-Amerika.
Tapi, tetap aja, masih ada bias terselubung. Banyak film Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang luar biasa tapi cuma dapat label “Best International Feature,” seolah-olah mereka gak cukup “besar” buat bersaing di kategori utama.
7. Oscar Kadang Menang Karena Momen, Bukan Kualitas
Oscar suka banget film yang “tepat waktu.” Artinya, film yang muncul pas lagi relevan sama isu sosial tertentu punya peluang besar menang.
Contohnya:
- 12 Years a Slave (2014) muncul pas Amerika lagi sibuk ngomongin rasisme.
- Spotlight (2015) menang karena bahas isu pelecehan di gereja Katolik.
- Nomadland (2021) jadi simbol era pandemi dan kesederhanaan hidup.
Masalahnya, ini bikin banyak orang ngerasa Oscar lebih suka film yang “pantas” secara moral daripada yang benar-benar menghibur.
8. Kadang Film Pemenang Oscar Justru Gak Bertahan Lama
Lucunya, beberapa film pemenang Oscar justru cepat dilupain.
Coba tanya penonton umum: lo masih inget The Artist (2011) atau The King’s Speech (2010)?
Kemungkinan besar enggak. Tapi semua orang masih inget Inception atau The Social Network — dua film yang kalah di tahun yang sama.
Itu bukti bahwa film bagus versi juri gak selalu jadi film berpengaruh versi penonton.
Kadang film yang “gagal di Oscar” justru jadi ikon budaya pop yang jauh lebih abadi.
9. Tapi Di Era Sekarang, Oscar Udah Mulai Berubah
Untungnya, beberapa tahun terakhir, Oscar mulai sadar kalau mereka harus adaptasi.
Mereka mulai buka pintu buat:
- Sutradara perempuan (Chloé Zhao, Jane Campion)
- Film internasional (Parasite, All Quiet on the Western Front)
- Genre non-drama (Everything Everywhere All At Once = sci-fi absurd yang menang besar)
Mereka juga berusaha bikin sistem voting lebih inklusif dengan anggota dari seluruh dunia.
Jadi mungkin ke depannya, Oscar bakal makin nyambung sama selera penonton global.
10. Jadi… Apakah Film Pemenang Oscar Selalu Bagus?
Jawabannya: enggak selalu.
Beberapa emang masterpiece sejati, tapi banyak juga yang menang karena faktor politik, tren, atau lobi industri.
Tapi bukan berarti Oscar gak berguna.
Oscar masih jadi tolok ukur prestasi teknis dan artistik yang penting. Film pemenang Oscar mungkin gak selalu “asik ditonton,” tapi biasanya punya sesuatu yang layak dipelajari.
Kalau lo penikmat film sejati, mungkin lo gak harus selalu suka pemenangnya — tapi lo bakal ngerti kenapa film itu dianggap berharga.
Kesimpulan: Oscar Itu Bukan Patokan, Tapi Cerminan
Jadi, apakah film pemenang Oscar beneran bagus?
Jawabannya: tergantung siapa yang nonton.
Buat penggemar sinema, Oscar adalah bentuk apresiasi seni tertinggi.
Tapi buat penonton biasa, kadang filmnya terlalu rumit, lambat, atau “gak nyentuh.”
Yang jelas, Oscar bukan mitos — tapi juga bukan jaminan.
Dia cuma cermin dari dunia film pada zamannya: politiknya, tren-nya, dan selera elit Hollywood-nya.
Dan kadang, film terbaik di hati penonton gak butuh piala emas buat diingat selamanya.
FAQ
1. Apakah semua pemenang Oscar film drama?
Mayoritas iya, karena juri lebih suka genre serius. Tapi beberapa komedi kayak Annie Hall dan Everything Everywhere All At Once juga pernah menang.
2. Kenapa film populer jarang menang?
Karena Oscar cenderung pilih film yang dianggap “bernilai seni,” bukan sekadar laku di box office.
3. Film apa yang paling gak pantas menang Oscar?
Banyak kritik bilang Crash (2006) dan Shakespeare in Love (1999) adalah contoh keputusan buruk Oscar.
4. Film mana yang kalah tapi lebih berpengaruh?
Pulp Fiction, Inception, The Shawshank Redemption, dan La La Land adalah contoh film yang kalah tapi lebih diingat.
5. Apakah Oscar bisa dimanipulasi lewat kampanye?
Secara halus, iya. Kampanye FYC bisa mempengaruhi opini juri lewat promosi dan strategi media.
6. Apakah film lokal pernah tembus Oscar?
Belum banyak, tapi Ngeri-Ngeri Sedap dan Yuni sempat jadi wakil Indonesia untuk kategori Best International Feature.